THE SECOND LOST [YEYEON shipper]

BE A GOOD READER ^_^ RCL PLEASE, atleast put one comment below thankyou~ arigatou~ gomapta~ kkk *bows*

Tetapi…
Dunia semakin sepi bagiku
Saat kutahu mentari melangkah tak bersuara
Bulan tertidur tanpa mendengkur
Hatiku menangis tanpa menjerit
Dan kau pergi membawa mentari
Tanpa menorehkan senyummu
Tuk hapuskan sesal dosa atas kita di masa lalu…
***
[Backsound: Baek Ji Young- After A Long Time]

            Tersenyum. Hal yang aku pikirkan saat ku melihatnya jauh di balik awan. Meski gelap, tetapi sinarnya mampu terangi setiap sudut di atap ini. Termasuk mimpi-mimpi itu.
            “ Huhft…” kutarik nafas dalam-dalam.
            Masih saja kuputar-putar sebuah lembaran foto unikku bersama Yesung, teman masa kecilku. Kami saling pandang dan tersenyum dibalik sebuah pohon besar yang saat itu sengaja kami pakai untuk bermain petak umpet. Begitu lucu dan penuh kenangan. Entahlah, dia tiba-tiba menghilang tanpa jejak sejak 12 tahun yang lalu.
            “Dimana kau? Aku merindukanmu, Star”, bisikku. Ahh, aku tidak ingin terlalu hanyut dalam kesedihan mengingatnya.
            “It need to stop!” pekikku dalam hati.
            Tetapi walau kau menghilang, aku akan selalu menunggumu di Atap Bintang ini. Karena di atap inilah aku dan Star selalu menghabiskan malam-malam bersama hanya untuk melihat bintang. Ya, bintang kesayangan kami. Bintang penuh cinta. Cinta pertama yang akan kutunggu sampai mati. Apapun yang terjadi. Jikalau kau memang tak kembali kepadaku, maka…
Ahh, angin yang berhembus saat ini lumayan kencang juga. Rambutku terkibas memecah lamunanku yang menjamur. Dedaunan pun mendesah ramaikan suasana yang tak lagi asing bagiku ini. Langit malam yang sedari tadi kutatap serasa terkikik menertawakanku. Lucukah ini?
            “My favorite place I ever had! Tapi, sejak ayahku pindah ke Perancis terpaksa tempat ini hanya menjadi satu dari kenangan masa kecilku yang rapuh,” suara gagah itu mengalun menyentuh telingaku. Aku terperanjat dari tatapanku yang kosong.
            “Hah?!” pikirku. Aku terkejut akan kata-katanya yang halus itu. Kuangkat kepalaku ke sisi kanan, tepat di sampingku ia berdiri. Lelaki  belasan tahun dengan gaya rambut ala Perancisnya meregangkan kedua lengannya seolah ingin memeluk angin.
Mustahil. Ya, mustahil bagiku. Bagaimana bisa ada orang lain yang tahu tempat ini selain aku. Bukankah…
            “Ahh, kupikir hanya aku yang tahu soal tempat ini,” sanggahku halus. Lalu ia berjalan mendekatiku.
            “Mr. Soo Man…” ucapnya dengan diikuti desah nafas panjangnya.
            “… seorang berkebangsaan Jerman. Pebisnis sukses dan terkenal di kota seluas ini. Lahir sebagai orang  yang pekerja keras di Munich 88 tahun yang lalu. Salah satu kesuksesannya terwujud di atap ini,” lanjutnya panjang lebar seraya berjalan mondar-mandir di depanku dengan gaya layaknya seorang detektif amatir. Ya, detektif amatir, pikirku.
            “… atap rumah inilah hasil kerja kerasnya selama lebih dari 50 tahun. Sukses tahun 1956 dan krisis perusahaan melanda saat ia berusia 68 tahun. Tiba-tiba ia menghilang secara misterius empat belas tahun yang lalu.”
            “Ehm… sepertinya aku kenal persis dengan cerita itu,” berhenti sejenak dan kucoba mengingat seseorang yang pernah bercerita hal yang sama padaku saat itu.
            “Nugu?” pikirku. “Hah!!! Apa mungkin Seon Na Eun?” bisikku lembut dengan mimik ragu-ragu.
            Ia tersenyum simpul lalu membungkukkan badannya ke arahku. Sinar matanya, indah sekali, batinku dalam hati. Dengan kedua lengan masih berada di dalam saku celananya, ia berbicara sesuatu yang buatku terperanjat kaku. Aku yang duduk tertekuk  memeluk lututku yang dingin semakin terasa terpojok akan sikapnya yang sedikit mengintimidasiku.
            “Dia mungkin tak lebih tau dibanding aku,” kataku sinis.
            “Ahhh.. malam ini aneh sekali. Aapakah angin tidak datang untuk temani aku malam ini?” pikirku kacau dalam hati. Lalu, ia berdiri dan mondar-mandir lagi didepanku.
            “Ne. Seon Na Eun adalah anak dari sekretaris Mr. Soo Man. Perkenalkan, aku Kim Jong Woon, anak dari manajer Kang In di perusahaan Mr. Soo Man. Senang sekali rasanya bisa bertemu dengan orang yang sama-sama menyukai tempat ini,”sanggahnya panjang lebar.
            Sontak aku menoleh ke arahnya, ia menatapku dan tersenyum dengan santainya. Ku balas senyumnya dengan mimik datar. Dalam ingatanku, masih terngiang jelas janji Seo In Guk-ssi kepadaku yang tentu saja kedatangannya membuatku sedikit ragu pada satpam yang satu ini.

[Flashback]

            “Baik, Non! Semua pasti beres deh kalo’ sama abang yang satu ini. Abang ‘kan jago silat. Hyat… hyat…” ucapnya girang seraya mengacung-acungkan lengan dan kakinya seolah-olah dialah pesilat handal yang pernah ada. Ehm, aku menundukkan kepalaku dan tertawa kecil karena tindakan konyol In Guk. Aku pikir dia bisa diandalkan.
            “Baiklah. Kusarankan agar kau untuk menjaga sikap dihadapanku. Jangan pernah kecewakan aku,” tukasku lalu tersenyum padanya.
            “Yosh!” jawabnya.
Kupikir sejak saat itulah aku percaya pada tujuanku. Ah, tidak. Tujuan kami. Karena sejak awal aku datang kesini perasanku selalu gelisah. Takut kalau-kalau ada yang tahu soal tempat ini selain aku. Karena kami berjanji untuk tidak memberitahukan soal tempat ini kepada orang lain. Tapi ahh, ternyata. Jika pada tujuan utama saja aku tidak bisa percaya, bagaimana bisa aku melangkah lebih jauh untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain.
“Apa yang sedang kau pikirkan, uh?” tanyanya kepadaku.
Aku yang sedari tadi memandang ke ujung gedung tua di hadapanku dengan tatapan kosong terbangun akan pertanyannya.
“Ahh... Aniya,” ucapku sambil tersenyum. Kami terdiam sejenak. Sepi mulai melilit kami yang terhimpit langit dan atap gedung ini tanpa suara detik yang biasanya mengisi saat-saat galau seperti ini. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul satu tepat. Tengah malam, pikirku.
“Hahaha… sudah larut malam, ya?” aku tertawa ringan dan segera bangkit melepas lututku yang terpeluk kaku sejak aku pertama duduk disini.
            “Sampai jumpa! Jaljayo!” ucapku tanpa basa-basi. Segera kuberlari ke arah tangga di sisi kiriku. Rumahku memang berjarak sangat dekat sekali dengan atap ini. Bahkan di bawah jendela kamarku sengaja kusandarkan sebuah anak tangga yang menuju ke Atap Bintang ini, ya, Atap Bintang. Aku dan Leito menyebutnya dengan Atap Bintang sewaktu kecil karena begitu seringnya kami bermain disana.
            “Pantas dia sering kemari”, dengus Jong Woon.
            Walau terdengar samar-samar di telingaku tapi kubiarkan saja dia berdiri dan berkicau sendirian disana. Ahh, aku harus cepat-cepat kembali ke kamar. Saat kulihat jam tanganku, waktu sudah menujukkan lewat tengah malam. Jika sampai aku telat bangun, maka kuliahku akan berantakan.
            “Oaahhmm!”.
[Backsound: SJ – From U *reff]
            Aku menggeliat  dan segera bangkit dari tempat tidurku. Seperti biasa, setiap pagi aku lakukan upacara wajibku. Aku melongok keluar jendela untuk melihat matahari terbit dari atap malam itu. Sungguh, tidak ada pemandangan yang jauh lebih indah selain hal ini dalam hidupku.
            “Huhft”, kuhembuskan nafas dalamku.
            Pagi ini begitu dingin. Ya, tidak setiap hari aku bisa seperti ini. Kadang jika aku tidur larut malam dan bangunku kesiangan, terpaksa kutinggalkan upacara wajibku yang satu ini. Ehm, selama aku memandangi matahari itu, pagi ini terasa semakin hangat saja. Sehangat pikiranku yang mulai sadar kalau waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Segera kuberlari ke kamar mandi, sarapan dan tak lupa menyiapkan skripsi mata kuliah yang sudah kuselesaikankan sejak sore kemarin. Cepat-cepat ku ke garasi mobil. Mobilku pun melaju dengan cepat menuju kampus.
            Sepanjang perjalanan pikiranku terus melayang. Kebetulan hari ini ibuku sedang di Mokpo, jadi aku tinggal sendirian di rumah. Aku pikir pagi yang sepi ini telah kulewati dengan cukup baik. Bagaimana dengan siang ini di kampus?
***
Malam pun datang lagi. Niatku pun muncul lagi. Hingga kubuka jendela kamarku dan segera kumeloncat menuruni tangga kecil di bawah jendela. Tidak seperti biasanya, foto kenanganku bersama Yesung sengaja tidak kubawa malam ini. Foto itu kusimpan di dalam kotak harta karunku. Aku ingin sekali saja bisa berhenti memikirkan dia. Tapi ternyata tak semudah itu untuk dilakukan.
            Ku ingin segera berlari ke tengah atap lapang itu. Baru dua langkah aku berjalan, kulihat sosok Jong Woon di ujung sana. Memandang langit di kejauhan dengan gaya angkuhnya yang luar biasa. Aku berjalan mendekat ke arahnya.
            “Sejak kapan kau ada disini? Apa kau sedang menunggu seseorang?”
            Bukannya menjawab pertanyaan yang aku ajukan, dia malah tersenyum menatapku. Angin pun mulai datang mengisi kediaman kami. Percakapan ini  mulai terkesan sangat dingin sekali.
            “Ehm, bagaimana jika kujawab ‘iya’? Apa yang ingin kau ketahui tentang orang yang akan aku temui ini?” ucapnya dengan nada sangat lembut.
            “Maaf sebelumnya, tapi tak ada seorang pun yang tahu soal tempat ini kecuali aku dan…..”, aku terhenti sejenak. “…bahkan satpam disini pun tahu akan hal itu”, lanjutku dengan nada gugup.
            “Ehm, begitu rupanya?”
            “Ahh, jangan mengada-ada… Aku tahu betul seluk beluk tempat ini”, jelasku dengan nada sedikit mencemoohnya. Aku membalikkan badanku dan berjalan ke tengah atap. Jujur saja aku merasa tersinggung dengan kata-katanya. ‘Kan atap ini hanya milik Luna dan Yesung. Bagaimana dia bisa tahu soal tempat ini?
            “Yak, apa yang kaulakukan disana? Berhati-hatilah!” teriakku.
            Aku tersenyum. Lalu kutundukkan kepalaku memandangi sepatuku yang tampak kusam. Kulihat disampingku ada sebuah ranting pohon. Kupungut ranting itu lalu kuayun-ayunkan ke atas. Dengan sengaja kuukir namanya, Yesung. Sejenak kuterdiam.
            “Kapan kau akan kembali, My Star?” bisikku pelan.
            “Kriinngg… Kriinngg…”, ponselku berbunyi. Kulihat nama Lee Dong Hae di layar ponselku.
            “Ye, yeoboseo? Ne? Oke. Ahh, gwaenchani... terserah saja. Ya, kita bicarakan besok pagi saja. Ye, jaljayo”.
            “Namjachingumu?” tanya Jong Woon mengejutkanku.
            “Ne! Mwo?. Apa ada yang salah?” tanyaku heran.
Dia menunduk lalu terdiam. Lama dia menatapku dengan tatapan dinginnya.
I’ve to go. Jalja~ Ji Yeon!”. Suara itu mengagetkanku.
Ah, dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku dan dia tiba-tiba mau pergi begitu saja. Segera kumasukkan ponsel flip-ku ke dalam saku celana. Aku berdiri dan mentapnya tajam-tajam.
Yak, Ahjussi! Bagaimana bisa kau pergi begitu saja? Bagaimana bisa kau tahu namaku? Yak!” teriakku. Aku telah berteriak berkali-kali tapi dia tetap tidak menoleh ke arahku. “Yakkk!” teriakku berlang-ulang.
“Bagaimana bisa dia tahu namaku? Dan siapa orang yang ingin dia temui? Bukannya hanya aku dan Yesung saja, ya, yang tahu soal tempat ini?” pikirku heran.
Tapi, semakin dalam aku memikirkan tingkah Jong Woon, aku semakin curiga. Hingga akhirnya pada malam berikutnya sengaja aku tidak mengunjungi atap itu. Aku hanya melongok keluar jendela. Tapi tetap saja aku masih melihat Yesung disana. Dan hingga tiga malam berikutnya pun kulihat dia masih saja menunggu seseorang disana.
“Siapa orang yang ingin dia temui sebenarnya? Dan apa yang dia cari, ya?” pikirku.
Jaljayo, chagi!” ucap Dong Hae kepadaku. Ia keluar dari mobilnya lalu membukakan pintu mobilnya untukku. Aku hanya tersenyum simpul kepadanya.
Gomawoyo, chagi. Jalja~”, ucapku dengan nada datar. Tanpa peduli akan kata-kata Jong Woon, cepat-cepat kuberlari ke kamar atas. Kubuka jendela kamarku dan…

[Backsound: Baek Ji Young-After A Long Time]
“Sepi?! Eodiga? Di-dimana dia?” celosku sinis. “Aneh sekali, cegiral!”, gerutuku.
Keganjalan ini membuatku sedikit berpikir kritis. Segera kumelompat keluar jendela. Kucari dia sampai ke sudut-sudut atap tetap saja tak kutemui batang hidungnya. Bahkan tak sedikit jejak pun tertinggal disana. Aku mulai curiga dan khawatir akan keadaannya. Bagaimana dia bisa tahu namaku? Siapa orang yang ingin dia temui sebenarnya? Dan bagaimana bisa dia naik ke atap ini? Apa Seo In Guk-ssi... Ya, In Guk-ssi?! Segera ku membalikkan badanku dan berlari menuju tangga.
“Prryaaaaaaannngg!!!”
“Meow… meow…” suara kucing ini menghentikan langkahku.
Kulihat ke arah kucing itu berasal. Rupanya kucing itu telah menendang sebuah kaleng kosong. Bulunya yang memanjang berwarna coklat muda berbaur putih, lebih tepatnya kucing jenis Anggora. Aku kenal betul dengan kucing itu. Ahh, kucingku!
“Ban Gee?”
“Meow… meow…” dia mulai mengelus-elus kakiku. Tunggu, tampaknya Ban Gee kesulitan untuk bergerak. Rasanya ada yang aneh.
Mwoya?” pekikku. Kulihat sebuah gulungan kertas berpita ungu menggelantung di lehernya. Segera kuambil kertas itu. Aku penasaran sekali, kira-kira apa isi kertas itu? Puisikah? Atau surat? Dengan gelisah kubuka gulungan kertas yang mencurigakan itu. Kubaca kata pertama dari isi gulungan kertas itu dan…..
“Ahh?! Untukku?!”
[Backsound: Yesung & Luna – And I Love You]
***isi suratnya
Dear Park Ji Yeon,
            Maaf, seharusnya aku mengatakan ini sejak awal kita berjumpa. Maaf, My Moon! Maaf dulu kau pergi tanpa pamit. Aku terpaksa ikut ayahku ke Limoges, Perancis, untuk mengikuti beberapa tes masuk tim sepak bola junior Perancis. Kau tahu ‘kan kalau aku suka sekali main sepak bola? Tapi, sebenarnya masih ada hal lain yang kamu tidak tahu. Alasan lain mengapa aku harus ke Limoges.
            Bagaiman kabarmu malam ini, My Moon? Aku berharap kau akan tetap baik-baik saja sama seperti malam-malam kemarin saat aku menatapmu bahagia bersama kekasihmu. Ehm, aku maih ingat betul saat-saat kau memanggilku “My Star”, bermain petak umpet ala anak-anak desa, dan memandang langit bersama-sama di Atap Bintang. Aku sangat merindukan Atap Bintang kita, terutama kau, Kia.
            Sekali lagi maafkan aku. Sejak ayah dan aku pindah ke Limoges, ayahku sengaja mengganti namaku yang semula Kim Hye Seong (dulu kau tidak memanggilku Jong Woon, tapi Yesung. Pantas saja kau tak tahu saat aku menyebutkan nama Jong Woon kemarin malam) menjadi Kim Jong Woong. Kau tahu, namaku sengaja diganti untuk menghilangkan jejak ayahku dari endusan para wartawan lokal yang masih saja mencar-cari tentang misteri hilangnya Mr. Soo Man. Yah, hal ini pantas saja terjadi karena sore itu memang ayahkulah orang terakhir yang bersama Mr. Soo Man di sebuah restoran China tua di Gyeonggi-do, Seoul. Itulah sebabnya aku dan ayah pergi ke Limoges. Meski ayah tahu dimana Mr. Soo Man berada, dia tetap saja tidak mau memberitahuku. Entahlah, kupikir mungkin Mr. Soo Man juga bersembunyi ke negara lain seperti kami.
My Moon, dua hari lagi ulang tahunku yang ke-27. Apa kau masih ingat tanggal ulang tahunku? Kuharap kau selalu ingat akan hal itu. Ehm, suatu malam di musim semi aku dan ayah duduk-duduk di teras rumah. Kami mengobrol tentang wanita idamanku. Bahkan ayahku meminta agar aku cepat-cepat menikah sebelum usia 30 tahun.tapi sayangnya, cintaku tetap hanya untuk cinta pertamaku, yaitu kau, Ji Yeon.
            Maka dari itu, dengan wajah bersungguh-sungguh aku memohon kepada ayah agar mengijinkanku melamarmu. Ya, ayah mengijinkan tapi dengan syarat aku harus membawamu ke Limoges. Dan waktu yang diberikan ayah sangat singkat sekali, yaitu tujuh hari. Atau jika ternyata aku gagal memilikimu, maka mau tidak mau aku harus menerima penawaran ayah untuk menikahi putri  teman ayah, Seon Na Eun.
            Setibanya di Jakarta, aku tidak langsung ke rumahmu melainkan ke Atap Bintang kita untuk melihat apakah kau masih tetap mengunjungi atap itu seperti dulu atau tidak. Dan ternyata kau ada disana. Saat itu sengaja tidak kusebutkan kalau namaku Yesung, kau tahu, karena kutahu kau pasti sudah melupakanku. Maka dari itulah aku menyebutkan Jong Woong-lah namaku.
Satu hal yang buatku semakin yakin kalau kau sudah melupakanku. Saat itu, kudengar kau menjawab telepon dari kekasihmu. Hal itu tentu saja membuatku merasa hancur. Hingga hari-hari berikutnya, aku masih mencoba menunggumu. Tujuanku hanya satu, ingin menjelaskan padamu tentang hal ini. Tapi ternyata kau tidak jua muncul.
            Dan hari terakhir aku di Jakarta, kau masih saja tidak muncul. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke Limoges Jumat lalu. Aku berangkat ke bandara Incheon tepat pukul 10 pagi. Aku akan menerima tawaran ayah untuk menikah dengan Seon Na Eun, putri teman ayah di Limoges.
            Sekali lagi maafkan aku, My Moon. Aku pergi tanpa seutas kata perpisahan. Rasa kecewa ini akan terkubur bersama waktu yang melilitku dalam hangat dekap cintaku untukmu. Always love you, ‘cause I just wanna be with you, My Moon. Please, don’t come to Limoges! Although you really have same feeling as me. Do it for our love, Moon ... I didn’t mean to hurt you. Please, burn all our memories…Bogoshipeosimnida, saranghaeyo~



Nae Mum [lovely],



Yesung

Tanpa terasa air mataku telah beranak pinak di pipiku. Sakit sekali rasanya. Mengapa aku baru tahu? Mengapa kau baru mengatakan ini? Mengapa? Kau tahu, bertahun-tahun aku menantimu. Ahh, andai kau tahu, My Star... Dong Hae memang kekasihku. Tapi aku sama sekali tak mencintainya. Keronde naega….
            “Stttaaarrrr!!!!” aku berteriak sekeras mungkin. Berharap agar kau mendengar suaraku ini. Agar kau mendengar detak jantungku yang terasa mati akan hilangnya dirimu. Agar kau tahu, sesungguhnya aku pun mencintaimu. Itulah sebabnya aku tak bisa jatuh cinta lagi, apalagi kepada Dong Hae.
            Tatapanku mulai kosong. Kuberjalan mengitari atap ini, mencoba mengingat kembali masa-masa itu. Kulihat bayangmu di tempat dimana kenangan kita akan terkubur selamanya. Hingga kurasa aku telah sampai pada ujung penantian yang panjang. Ujung penantian yang sia-sia. Pikiranku mulai kosong, jiwaku pun terasa mati. Terasa aku bagai melayang menembus tingkatan rumah ini. Aku memeluk tanah bersama jatuhnya air mataku. Sakit sekali. Dan sakit ini pun terus terbawa hingga mataku menutup di balik bayang-bayangmu yang menghantui jiwaku hingga di penantian yang sia-sia. Selamat tinggal, Yesung! Kuharap kau mengerti akan keringanya darahku ini kini telah luluh bersama air mataku yang mengering karena penantianku terhadapmu yang sia-sia.
            Angin malam ini berhembus sangat lesu. Seolah ingin menemani perasaanku yang hancur. Kucoba bangunkan suaraku yang mulai terdengar payau, mencoba memanggil namamu. Sekali lagi berharap kepadamu. Berharap aku dapat melihatmu di akhir yang mengerikan ini.
            “Y-Yes-Yesuunnggie~” bisikku.

[Backsound: Yesung – It Has To Be You]

Comments