Dear Burung Camar

Dear Burung Camar,
Hari ini aku masih dengan kebiasaanku, mencoba menggoyangkan akarku ke ranah luar. Menggapai permukaan dan menyentuh senja. Indah. Begitu angin sore dan sinar-sinar mentari jatuh diantara dedaunanku, atau bagaimana mereka memainkan rantingku, aku sama sekali tak terganggu. Bagimana mereka mengambil separuh hidupnya dan bergantung kepadaku, aku sama tak merasakan sebagaimana kau mengkhawatirkan cakarmu yang membekas di dahanku. Tidak. Justru aku melihat keindahan disana. Dan sudah biasa bagiku, sepertinya.
Sebab lihatlah! Lebih dekat lagi! Coba kau perhatikan lebih dalam lagi apa yang ada disana. Mari kutunjukkan! Betapa gores-gores camar yang lain yang pernah hinggap di dahanku, bahkan ribuan kali mematahkan rantingku hingga hancur, atau menggugurkan daunku hingga tak bersisa. Aku begitu kering layaknya pohon kapuk di tengah padang pasir. Membuatku tampak berbeda dari pohon bakau lainnya, bukan? Pucat?
Lihatlah lebih dekat! Goresan mana yang merupakan goresanmu? Apakah setebal dan sedalam goresan lainnya? Apakah kau tahu seberapa dalam dan seberapa banyak dulu getahku mengalir diantara sela-sela diriku yang tegak dan kokoh ini saat camar-camar itu mencengkeram erat diriku? Atau apakah kau tahu seberapa dalam dan seberapa banyak dulu getahku mengalir diantara sela-sela diriku kau mencengkeram erat diriku, wahai camar?
Hanya diriku yang tahu...
Betapa perihnya goresan-goresan itu. Betapa mengerikannya cakar mereka bagiku.
Tapi ada satu hal yang kutahu pasti dan aku cukup bersyukur saat itu adalah... Walau aku sudah berpeluh getah, daunku rontok tak bersisa, atau batangku mengeras dan kering tak bersemangat... Ternyata disana masih ada satu camar yang masih mau bertengger pada rantingku yang rapuh.
Kau tahu? Saat matahari melihat kita diantara sinar senjanya sore itu, terpancar diantara perairan bakau yang menerpa bak berlian di tengah lautan mangrove, aku... merasa indah saat itu. Seperti sudah tak peduli dengan bagaimana goresan camar-camar itu—dan goresanmu—yang meretakkan rantingku dan membuatku tak utuh layaknya pohon bakau lainnya yang tampak begitu indah diantara permainan angsa hitam dan angsa putih itu... Aku dan kamu, camar... kita berdiri di senja indah dengan anggunnya.
Adakah hal buruk yang menganggu pikiranmu kala itu? Adakah hal yang seindah selain itu wahai camar? Disaat kulihat pohon bakau lainnya justru tumbuh melayu dan berlumut diantara lidah biawak, ular, dan buaya diantara lautan mangrove itu? Mungkin kurela jika kuharus jatuh dan tenggelam karena cengkeramanmu itu. Karena ada hal terakhir yang harus kau tahu, wahai camar... Tidakkah kau memerhatikan bagaimana warna rantingku yang berbeda ini semakin hari semakin merontokkan gairahnya tuk melambaikan akar-akarku diantara sirip-sirip ikan kecil ini?
Mungkin... Hanya tersisa dua atau tiga senja lagi aku mampu bertahan. Mungkin hanya cukup tersisa sekali atau dua kali lagi hembusan angin Barat yang membawa rantingku berjatuhan ke lautan mengrove kecil di sekitarku. Hingga akhirnya ranting kering tak berdaunku ini habis tak bersisa, lalu aku melayu tak bertenaga, lalu lumut-lumut bergumul mendapati diriku sebagai berkah baginya...
Disaat itulah bagiku melakukan hal yang sama seperti yang camar-camar itu lakukan. Sama seperti yang kau lakukan wahai camar.  Menghilang entah kemana.
Satu hal...  Migrasi bukanlah hal besar buatku. Selama rantingku masih mampu bertahan untuk menopangmu berdiri diantara senja yang memerah, selama rantingku masih mampu dan masih ada untuk kau datangi kembali, selama rantingku masih ada dan aku masih belum melayu tak bertenaga...
Camar tetaplah camar. Camar yang hidup diantara mangrove kecil itu, akan kembali kepada bakauku. Walau banyak diantara ratusan bakau  lain yang masih menghijau.... selama keberadaanku masih bermanfaat untuk mereka, selama keberadaanku tak menyakiti sayap mereka yang indah itu. Aku takkan membiarkan diriku tenggelam bersama batu karang yang berlumut di akarku.  Aku akan masih membiarkanmu tetap bertengger diantara ranting rapuhku, pun camar lainnya.
Tapi, cukuplah bagiku jika aku masih kau datangi walau hanya bertengger tuk sekedar mengibaskan sayapmu. Karena hanya disisa senja ini pula, aku mampu bercengkerama denganmu, dan berbagi pada ikan-ikan itu, sinar mentari yang sama. Sinar senja yang memerah kala bulan purnama tak sabar menhampiri bintang setitik di tengah cakrawala awal musim semi. Cakrawala dimana sakura mulai bermekaran. Sebelum rapuhku mejemputku tenggelam bersama lumut-lumut itu. Lalu bakau dan mentari, bersama tenggelam di senja akhir musim semi.


Re: 26/02/2015 (23.00)

Comments